Cerpen
Aku berdiri di antara kerumunan orang-orang
yang berlalu lalang di tepi jalan. Di dekat pasar, para penjual bersiap pulang.
Hari menjelang sore saat mendung di langit menumpahkan airnya. Hujan. Aku tidak
sempat membawa payung. Kupikir, musim telah berganti. Ternyata aku salah, meski
tidak sering, hujan masih menyambangi di awal bulan Agustus ini. Lagi-lagi aku
salah, bahkan untuk sekedar memprakirakan cuaca yang sudah diramalkan BMKG. Salah
prakiraan, diksi yang aku sangkal keberadaannya belakangan ini. Kukira, dia
akan kembali setelah berulang kali kudorong pergi. Tapi, untuk kepergiannya
yang sekarang ternyata untuk selamanya.
Hujan menderas. Orang-orang mulai berlarian pergi, mencari tempat untuk berteduh. Aku yang mulai basah kuyup masih bertahan. Seperti orang linglung, berdiri tertunduk di bawah atap langit. Terdengar suara beberapa orang yang menyuruhku berteduh, dan aku masih bergeming. Tak usah pedulikan diriku, aku tidak suka dikasihani. Anggap saja aku orang gila dan biarkan aku melakukan semua hal sesukaku selama tidak mengganggu kalian. Begitu suara batinku kepada mereka. Sembari mengusap air mata, aku mengadahkan wajah ke atas. Apakah pengecut dan pendosa sepertiku masih layak dapat ampunanmu, Tuhan?
“Tidak perlu memaksa dirimu terus-terusan seperti ini, kamu buka robot, tubuhmu juga butuh istirahat.” Katanya suatu ketika. Saat itu, aku sedang mempersiapkan diri untuk ujian calon pegawai negeri. Kupikir, itu adalah kesempatanku satu-satunya di usiaku yang tak lagi muda. Bukankah aku harus memaksimalkannya? Aku marah saat dia berkata seperti itu. Kubilang, aku mau fokus belajar dan sedang tidak butuh nasehat. Dia hanya tersenyum, menepuk bahuku kemudian pergi. Selalu seperti itu. Kemarahanku berbalas senyumannya. Dulu, aku tidak pernah memperhatikannya, namun aku merindukan senyuman manis itu sekarang. Sial, aku begitu menyia-nyiakannya.
Seorang ibu paruh baya memegang lenganku. “Kamu bisa terkena demam jika berdiri di tengah hujan deras seperti ini, nak. Aku memperhatikanmu dari tadi. Mari berteduh di tokoku.” Katanya sembari menyodorkan payung. Tak ingin mencederai niat baiknya, aku memutuskan untuk ikut. Hujan yang belum juga reda menyamarkan air mata. Aku harus berjalan tegak dan tegar untuk menyembunyikan kehancuran, penyesalan, serta patah hati yang saat ini sedang kudera.
“Aku buat kue untuk kamu. Apa kamu ingat kalau hari ini hari ulang tahun?” Ya, aku mengingatnya. Aku tidak pernah melupakan hari lahirku, hari yang juga tanggal kematian ibuku. Dan dia selalu seperti ini, membawakanku kue, menyalakan lilin di atasnya, lalu meniupnya sendiri. Aku tidak suka merayakan hari lahir, aku sudah mengatakan itu kepadanya. Dia bilang, yang dia rayakan adalah ulang tahunnya sendiri yang tanggalnya sama denganku. Katanya, dia tidak suka merayakannya sendirian. Katanya dia kesepian. Aku tahu dia berbohong, karena faktanya temannya banyak. Dia hanya tidak ingin aku merenung di hari itu, meyalahkan diri sendiri atas kematian ibuku seperti yang selalu ayahku lakukan.
“Laki-laki ganteng sepertimu ternyata juga bisa patah hati.” Kata si ibu paruh baya sembari membawakanku teh manis. Aku hanya tersenyum. Ternyata aku benar-benar tak bisa menyembunyikan raut wajahku yang sedang terluka. Bagaimana tidak patah hati, buk. Kekasihku pergi menyusul ibuku. Ah, dia pasti bahagia saat aku mengakuinya sebagai kekasih setelah berulang kali ungkapan cintanya kuabaikan dan dia tidak pernah menjauh. Bagaimana bisa menjauh kalau kami tinggal satu atap.
“Ken, pernahkah terpikirkan olehmu bahwa ayah tidak pernah membencimu? Kamu adalah buah hatinya bersama istri yang sangat dicintainya. Aku melihat foto ibumu dan kupikir kamu sangat mirip dengannya.” Suatu ketika dia mengatakan itu saat aku sedang tidur. Dia pikir aku tidak mendengarnya. Dia sering sekali bermonolog di kamarku saat aku sedang terlelap. Hal itu mungkin caranya untuk berkomunikasi denganku, karena saat sedang sadar aku jarang menanggapinya.
Jujur saja, awal kebencianku kepadanya dimulai saat aku masih berada di bangku sekolah dasar. Ayah yang membawanya pulang. Dia tidak tega jika keponakannya harus tinggal di panti asuhan setelah kepergian kedua orang tuanya. Ayahku yang sangat kaku begitu ramah kepadanya, aku merasa tersingkirkan. Dia bahkan tidak segan untuk menceritakan apa yang dialaminya di sekolah. Aku jadi merasa seperti orang ketiga di rumahku sendiri. Di masa SMA aku baru tahu alasan mengapa ayah mengabaikanku setelah menguping monolog ayah di makam ibuku. Setelah itu, aku semakin menjadi pendiam. Seperti ayah, aku hanya berbicara saat ada perlunya. Hanya dia yang bisa mencairkan kebekuan di rumah kami.
“Aku mencintaimu, rasanya aneh saat mengungkapkan ini pada saudara sepupu, namun aku juga tidak bisa menyimpan perasaanku sendirian. Maafkan aku. Taukah kamu? Rasanya lega sekali bisa membicarakan ini. Aku sudah memikirkannya berminggu-minggu.” Dia tidak menunggu jawabanku setelah itu. Di hari berikutnya dia bilang tidak memaksaku untuk menjadi kekasihnya, namun jika aku mengakui dan menerima cintanya, dia akan senang sekali. Dan aku tidak mengakuinya.
Aku tidak pernah mengungkapkan kata cinta kepadanya. Siapa yang terpikirkan untuk pacaran dengan sepupu sendiri, rasanya teramat aneh meski sebenarnya boleh dilakukan. Aku benar-benar mengabaikannya selama berbulan-bulan setelah itu. Sampai suatu malam, dia mendatangiku lagi. Dia bilang, dia menyesal atas ungkapan cintanya dulu. Dia tidak akan mengatakannya jika akhirnya tidak pernah kuanggap ada. Dia menangis saat kutatap matanya. Aku menciumnya malam itu dan menyetubuhinya setelah sebulan berlalu. Aku tahu bahwa aku adalah definisi dari binatang buas.
Suatu ketika, dia berkata kalau dia tengah mengandung. Aku yang sedang kacau karena masalah pekerjaan emosi mendengarnya. Aku menyalahkannya karena dia lupa meminum obat. Dan untuk pertama kali, aku melihatnya menahan amarah. Dia tidak menyalahkanku karena begitu sering aku memakainya. Dia hanya terisak sembari berkata kalau dia akan pergi. Pergi yang benar-benar pergi, ke tempat yang tidak akan pernah bisa kujangkau selama aku masih hidup. Dan dia benar-benar pergi.
Hujan sudah reda saat langit berwarna jingga. Suara adzan mulai terdengar bersahut-sahutan. Aku masih duduk di teras toko si ibu paruh baya. Syukurlah dia tidak mengusirku meski keberadaanku sudah lebih dari satu jam. Sepatu kukenakan kembali dan aku mulai berdiri, berpamitan, lalu mengucap maaf karena sudah merepotkan sembari berterimakasih. Langkah kaki kuayunkan menuju masjid. Tempat yang sudah bertahun-tahun tak pernah kudatangi. Masih sudikah kau menerimaku, Tuhan?
By: Oenisa
Komentar
Posting Komentar